Dirjen Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Wikan Sakarinto mengatakan terdapat delapan aspek yang harus dunia pendidikan vokasi Indonesia hadapi dalam kaitannya dengan link and match dengan industri.
Wikan menyebutkan, aspek-aspek tersebut adalah kurikulum, pembelajaran berbasis proyek, tenaga pengajar dari industri, magang, sertifikat kompetensi, pelatihan industri, riset terapan, serta komitmen penyerapan insan vokasi oleh industri.
“Usaha mengimplementasikan link and match antara pendidikan dengan industri harus dimulai dari membangun integritas, komitmen, kepercayaan, dan apa manfaat untuk industri. Kita sudah mendapatkan kepercayaan dari industri dan kepercayaan industri terhadap pendidikan tinggi vokasi terus meningkat,” kata Wikan dalam seminar Stadium Generale- Chapter 1: Switzerland bertajuk Strengthening International Partnership of Indonesia Vocational Higher Education.
Berdasarkan siaran pers diterima Beritasatu.com, Jumat (15/10/2021), seminar ini diselenggarakan oleh Direktorat Kemitraan dan Penyelarasan Dunia Usaha dan Dunia Industri (Mitras DUDI) Kemendikbudristek.
“Pendidikan vokasi juga makin percaya diri mampu memberikan kontribusi signifikan bagi industri. Ini adalah keterlibatan dunia kerja di segala aspek penyelenggaraan pendidikan vokasi,” sambung Wikan.
Selanjutnya, Wikan menuturkan, pendidikan vokasi Indonesia akan menghadapi banyak tantangan di masa depan, terutama dalam kaitannya dengan industri. Oleh karena itu, Wikan meyakini kerja sama internasional menjadi aspek yang penting bagi Indonesia dalam menjawab tantangan-tantangan tersebut.
Saat ini institusi pendidikan vokasi tidak boleh hanya fokus pada kemampuan teknis atau hard skill. Institusi pendidikan vokasi juga harus memberikan perhatian pada soft skill dan karakter. Menurut Wikan institusi pendidikan vokasi harus bisa menghasilkan insan vokasi yang memiliki karakter kuat, soft skill kuat, dan hard skill yang kuat.
“Ini konsep yang harus kita tanamkan. Soft skill dan hard skill harus dimiliki insan vokasi secara seimbang. Kompetensi diciptakan oleh karakter, soft skill, dan hard skill,” ujar Wikan.
Sementara itu, Presiden European Association of Higher Education Professionals (Euro-Pro) Urs Keller mengatakan, satu dari sekian cara memperkuat kerja sama antara perguruan tinggi vokasi dengan industri adalah pengembangan sumber daya manusia.
Ia menuturkan, perguruan tinggi vokasi harus sangat berorientasi pada bisnis. Artinya, mahasiswa vokasi tidak hanya belajar teori di kelas, tapi juga perlu belajar praktik di perusahaan. Di Swiss, angka pengangguran lulusan perguruan tinggi vokasi bahkan menjadi yang terendah dibandingkan lulusan sekolah lain, termasuk universitas, yaitu 45%.
“Itu artinya lulusan vokasi di Swiss sangat mudah terserap oleh industri. Insan vokasi kami juga jadi yang paling diminati dan paling memenuhi persyaratan dunia industri. Mereka bahkan mendapatkan gaji yang serupa dengan orang-orang akademik, tetapi mereka justru paling banyak dilibatkan dalam proyek-proyek di industri,” tutur Keller.
Ia menambahkan, kualitas mahasiswa juga akan sangat dipengaruhi oleh tenaga pengajar, yaitu dosen. Menurutnya, dosen vokasi harus memiliki pengalaman praktik di industri sesuai dengan mata perkuliahan yang mereka ampu.
“Dosen harus memiliki pengalaman bertahun-tahun di ranah yang mereka ajarkan. Manajemen perguruan tinggi vokasi dan dosen harus berbicara bahasa industri dan memahaminya,” ujar Keller.
Pengalaman praktik di industri juga bisa dilakukan selama dosen menjalankan tugas mengajar, misalnya bekerja paruh waktu di industri dan magang. Keller mengatakan, perguruan tinggi vokasi dan industri akan saling mendapatkan manfaat dari memberikan kesempatan magang kepada dosen atau mahasiswa vokasi. Dari pihak perguruan tinggi, mahasiswa mereka akan mudah terserap oleh industri dan dosen bisa mendapatkan pengalaman untuk mereka ajarkan.
“Bagi perusahaan, mereka akan mendapatkan tenaga kerja yang memenuhi kualifikasi praktis yang tinggi. Mereka juga akan lebih mudah dalam melakukan perekrutan karyawan. Secara bisnis, mempekerjakan tenaga kerja berkualitas akan membantu mereka mencapai profit yang luar biasa,” kata Keller.
Untuk itu, Keller menegaskan, segenap pemangku kepentingan juga harus memberikan perhatian terhadap durasi magang insan vokasi di industri. Menurutnya, waktu tiga bulan magang di industri jauh dari kata cukup untuk menghasilkan insan vokasi yang berkualitas dan memenuhi persyaratan industri.
Dia mencontohkan di Swiss seorang dosen vokasi membutuhkan pengalaman praktik di industri selama tiga sampai lima tahun untuk memenuhi kualifikasi dan bisa mengajar di perguruan tinggi vokasi.
“Jika saya lihat situasi di Indonesia, mungkin itu sedikit berlebihan. Mungkin kalian harus mencari solusi terbaik dan meminta direktur jenderal pendidikan vokasi untuk berkolaborasi dengan perusahaan. Menurut saya waktu magang tiga bulan itu tidak cukup, saya menyarankan satu tahun,” ujar Keller.
“Solusinya dosen mengajar 50% di kampus dan menyambi bekerja di perusahaan, sehingga dia akan sambil belajar apa yang akan dia ajarkan,” tambah Keller.
Sebagaimana diketahui, Swiss termasuk negara yang memiliki pendidikan vokasi yang terbaik di dunia. Kementerian, pemerintah daerah, asosiasi dan penyelenggara pendidikan terlibat penuh dalam menghubungkan pendidikan dengan industri.
Keller menyebutkan, beberapa hal yang membuat pendidikan vokasi di Swiss sukses dan menjadi referensi negara-negara besar seperti Amerika Serikat adalah sistem pendidikan yang diorientasikan kepada tenaga profesional praktis, dukungan kuat dari perusahaan, serta tidak terlalu mementingkan gelar.
“Di Swiss perusahaan-perusahaan akan lebih mencari sumber daya manusia yang bisa menjalankan fungsi yang dibutuhkan dan memikirkan bagaimana cara mereka untuk menunjukkan performanya. Performa dinilai sangat penting di negara kami,” (*/cr2)
Sumber: beritasatu.com